Uji Materi UU KPK, MK Dinilai Prosedural dan Bebani Pemohon

Jakarta, CNN Indonesia — Direktur Eksekutif Kode Inisiatif Veri Junaidi menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) terlalu mengurusi hal prosedural dalam uji materi undang-undang dan membebani pemohon untuk menghadirkan bukti.

Hal ini terlihat dari 48 permohonan uji materi yang diajukan, termasuk uji materi UU KPK terbaru. MK sendiri sudah dua kali menolak uji materi UU ini dan masih memproses gugatan dari pihak lainnya.

“MK bukan mahkamah prosedural, MK bukan mahkamah kalkulator. Sudah lama saya mengatakan bahwa MK itu lepas dari prosedur-prosedur administratif yang kemudian menjadi pertanyaan itu,” kata Veri dalam diskusi ‘Menakar Peluang Pengujian Formil Revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi’, Tebet, Kamis (13/2).

“MK harus kembali bahwa MK itu menilai secara konstitusionalitas bagaimana pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan itu benar atau tidak. Secara konstitusionalitas, bukan secara prosedur,” imbuh dia.

Dari 48 permohonan uji materi itu, dia melihat MK selalu yang mengedepankan masalah prosedur, misalnya, apakah dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR kuorum atau tidak, UU itu ada surat presiden atau tidak, dan dalam proses pembahasan UU turut mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau tidak.

Hal yang sama terjadi dalam pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang tengah digarap di MK.

“Itu bagian kecil dari pembuktian uji formil. MK hadir untuk membuktikan nilai-nilai secara konstitusionalitas apakah sebuah regulasi itu benar dibentuknya dan benar substansinya,” ucap dia.

Veri juga menyoroti peran mahkamah yang membebankan segala pembuktian ke para pemohon. Menurut dia, hal tersebut tidak tepat karena pemohon adalah rakyat yang notabene memiliki kedaulatan. Sementara, pihak yang dipersoalkan, yakni DPR dan Pemerintah, sering enggan untuk memberi akses.

Dari 48 permohonan uji materi itu, dia melihat MK selalu yang mengedepankan masalah prosedur, misalnya, apakah dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR kuorum atau tidak, UU itu ada surat presiden atau tidak, dan dalam proses pembahasan UU turut mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau tidak.

Hal yang sama terjadi dalam pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang tengah digarap di MK.

“Itu bagian kecil dari pembuktian uji formil. MK hadir untuk membuktikan nilai-nilai secara konstitusionalitas apakah sebuah regulasi itu benar dibentuknya dan benar substansinya,” ucap dia.

Veri juga menyoroti peran mahkamah yang membebankan segala pembuktian ke para pemohon. Menurut dia, hal tersebut tidak tepat karena pemohon adalah rakyat yang notabene memiliki kedaulatan. Sementara, pihak yang dipersoalkan, yakni DPR dan Pemerintah, sering enggan untuk memberi akses.

Lho gimana mau membuktikan? Semua proses ada di sana [dewan dan pemerintah]. Logika kita mengatakan justru dengan publik menggugat, menguji sebuah UU, artinya ada proses prosedur yang salah. Salah satunya adalah ketertutupan,” tuturnya.

Sementara, mantan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengkritisi ketidakjujuran DPR dalam sidang uji materi UU KPK maupun dalam pembahasannya di dewan, beberapa waktu lalu.

Ia mencontohkan dengan klaim Kuasa Hukum DPR Arteria Dahlan dalam sidang uji formil di MK, beberapa waktu lalu, yang menyebut DPR sudah berkonsultasi dengan KPK dalam pembahasan RUU KPK. Padahal, kata Laode, itu tidak sesuai fakta.

“Yang paling saya tidak suka lagi bahwa mereka mengatakan sudah melakukan konsultasi dengan KPK. Ah, itu kekurang-ajaran berikutnya,” ucap dia.

Laode juga mencontohkan soal upaya seorang anggota Komisi III DPR yang meminta bertemu empat mata dengannya untuk membahas perihal RUU KPK. Namun, ajakan tersebut ia tolak karena tidak etis sebagai pimpinan komisi antirasuah.

Dalam persidangan uji materi UU KPK yang dimohonkan lima mantan komisioner KPK dan 9 pemohon lainnya, Hakim Konstitusi MK Saldi Isra meminta para pemohon untuk menyusun konstruksi proses perundangan yang ideal lantas dibandingkan dengan penyusunan UU KPK.

Selain itu, ia meminta pemohon mencantumkan argumentasi mengenai alasan hakim perlu melakukan provisi berupa penundaan pemberlakuan UU KPK. Selanjutnya, MK meminta kuasa hukum memasukkan usulan tawaran solusi apabila uji formil ini dikabulkan.

“Karena mahkamah selama ini hampir tidak mau mengabulkan permohonan kalau terimplikasi terjadinya kekosongan hukum,” tutur Saldi.

Selain itu, Hakim MK Arief Hidayat meminta kelengkapan bukti yang disertakan dalam permohonan. Sementara, pihak pemohon kesulitan mengakses data yang bisa jadi bukti, misalnya risalah rapat Badan Legislasi DPR soal RUU KPK, karena ketertutupan pihak dewan.

Sejauh ini, MK sudah menolak dua gugatan uji materi UU KPK. Pertama, uji materi yang dimohonkan dua orang advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario, dan uji materi yang digugat oleh para mahasiswa sejumlah universitas.

Mahkamah menolak permohonan-permohonan itu karena salah obyek (error in objecto) dan tak berkorelasi.

Namun, sejauh ini masih ada gugatan yang dimohonkan sejumlah eks pimpinan KPK dan tokoh antikorupsi. (ryn/arh)

Link Berita

Leave a Reply