Perjanjian Lisan Apakah Sah?
Perjanjian adalah suatu kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang mengikat secara hukum. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis maupun lisan, tergantung pada jenis dan isi perjanjian tersebut. Namun, apakah perjanjian lisan sah di mata hukum? Bagaimana cara membuktikan keberadaan dan isi perjanjian lisan? Apa saja kelemahan dan saran bagi yang ingin melakukan perjanjian lisan? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), ada empat syarat sah perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama berarti ada kesesuaian antara kehendak para pihak yang membuat perjanjian. Syarat kedua berarti para pihak memiliki kemampuan hukum untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, misalnya sudah dewasa, tidak dibawah pengampuan, tidak sedang sakit jiwa, dan sebagainya. Syarat ketiga berarti ada objek perjanjian yang jelas dan pasti, misalnya uang, barang, jasa, dan sebagainya. Syarat keempat berarti ada alasan yang sah dan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Yurisprudensi Sahnya Perjanjian Lisan
Dari keempat syarat di atas, tidak ada yang menyebutkan bahwa perjanjian harus dibuat secara tertulis. Artinya, perjanjian lisan juga sah asalkan memenuhi syarat-syarat tersebut. Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa putusan pengadilan yang mengakui keberadaan dan isi perjanjian lisan.
Berikut adalah beberapa contoh putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perjanjian lisan adalah sah dan mengikat secara hukum:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 617 K/Pdt.Sus-P/2018 menyatakan bahwa perjanjian lisan antara penggugat dan tergugat tentang peminjaman uang sebesar Rp140.000.000,00 adalah sah dan mengikat secara hukum.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 132 K/Pdt.Sus-P/2019 menyatakan bahwa perjanjian lisan antara penggugat dan tergugat tentang kerjasama jual beli vanili adalah sah dan mengikat secara hukum.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 105 K/Pdt.Sus-P/2020 menyatakan bahwa perjanjian lisan antara penggugat dan tergugat tentang utang piutang sebesar Rp160.000.000,00 adalah sah dan mengikat secara hukum.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yurisprudensi perjanjian lisan di Indonesia adalah positif. Perjanjian lisan dapat digunakan untuk berbagai macam kepentingan dan dapat diakui sah dan mengikat secara hukum oleh pengadilan apabila memenuhi keempat syarat yang telah disebutkan di atas.
Selain itu ada pula putusan Mahkamah Agung Nomor 1139 K/Pdt/2016 tanggal 28 September 2016. Dalam perkara ini, terdapat perjanjian lisan antara penggugat dan tergugat tentang penjualan tanah dengan harga Rp 1 miliar. Penggugat telah membayar uang muka sebesar Rp 200 juta kepada tergugat, namun tergugat tidak mau menyerahkan sertifikat tanah kepada penggugat. Penggugat kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian dan pengembalian uang muka.
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menolak gugatan penggugat dengan alasan tidak adanya bukti tertulis tentang perjanjian tersebut. Namun, Mahkamah Agung membatalkan putusan kedua pengadilan tersebut dan mengabulkan gugatan penggugat. Mahkamah Agung berpendapat bahwa perjanjian lisan adalah sah dan mengikat para pihak, serta dapat dibuktikan dengan alat bukti lain selain surat, seperti saksi-saksi dan keterangan ahli.
Apa Kelemahan Perjanjian Lisan?
Meskipun sah secara hukum, perjanjian lisan memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Sulit untuk dibuktikan. Perjanjian lisan bergantung pada ingatan dan kesaksian para pihak dan saksi-saksi yang terlibat. Hal ini rentan terjadi kesalahan, manipulasi, atau penolakan oleh salah satu pihak.
2. Kurang rinci dan jelas. Perjanjian lisan biasanya tidak mencantumkan detail-detail penting seperti waktu pelaksanaan, cara pembayaran, sanksi bila terjadi wanprestasi, dan sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan atau perselisihan di kemudian hari.
3. Tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Perjanjian lisan tidak dapat langsung dieksekusi oleh pejabat negara seperti hakim atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Jika salah satu pihak tidak menepati janjinya, pihak lain harus mengajukan gugatan ke pengadilan terlebih dahulu.
Saran Bagi yang Ingin Melakukan Perjanjian Lisan
Mengingat kelemahan-kelemahan perjanjian lisan, ada beberapa saran bagi yang ingin melakukan perjanjian lisan, yaitu:
1. Sebaiknya hindari perjanjian lisan untuk hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan, seperti jual beli tanah, rumah, kendaraan, dan sebagainya. Perjanjian lisan untuk hal-hal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
2. Jika harus melakukan perjanjian lisan, pastikan bahwa para pihak dan saksi-saksi yang terlibat adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Juga pastikan bahwa isi perjanjian lisan disepakati secara jelas dan rinci oleh para pihak.
3. Sebagai langkah antisipasi, sebaiknya buatlah catatan atau rekaman tentang perjanjian lisan tersebut. Catatan atau rekaman tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti jika terjadi perselisihan atau sengketa di kemudian hari.
Demikianlah Artikel kali ini tentang Perjanjian Lisan Apakah Sah. Semoga bermanfaat untuk anda.
Jika Anda sedang menghadapi masalah hukum dan membutuhkan bantuan pengacara, jangan ragu untuk menghubungi kami sekarang juga. Kami siap membantu Anda dengan sepenuh hati. Anda dapat menghubungi Japline untuk mendapatkan konsultasi awal gratis melalui chat WA.
Bagi Anda yang berada di wilayah Jabodetabek, terutama di Jakarta Selatan dan Depok, kami juga melayani pendampingan perkara secara offline atau wilayah di luar Jabodetabek, kami sangat sesuai untuk Anda, karena konsultasi dapat dilakukan secara daring/online.
Jika Anda ingin menjadi mitra kami, silakan berkonsultasi ke nomor 085692293310 atau . Mulailah konsultasi Anda sekarang dengan mudah, di mana pun dan kapan pun.