Mitos Perfect Competition: Menjaring ulang makna Hukum Persaingan
oleh : Kesit Umar Pranoto, SH, MH, CLA
Bismillahi’rohmannirohim..
Menafsirkan diniatkan oleh penulis berdasarkan pembacaan sumber gagasan yang diterima dalam bentuk tulis dan dipahami dengan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh situasi dan perspektif nilai penulis. Menanggapi beberapa pendapat dari berbagai kalangan mengenai wajah kebijakan ekonomi dan hukum Indonesia setidaknya telah menunjukan guratan keraguan dalam menaiki panggung kontestasi pasar bebas. Beberapa morfem yang digunakan mungkin akan terdengar usang saat ini, namun tidak mungkin asing dalam membangun sebuah gagasan melawan lupa.
Menuntun kembali ingatan kepada belantara paradigma nampaknya menjadi jalan yang tidak mungkin terlewatkan dalam setiap rumusan wacana, tentu dengan kesadaran untuk tidak bermaksud apriori melampauinya, karena segera terbayang akan tuntutan kemampuan yang tidak sederhana untuk memahami gagasan tersebut.
Untuk itu sekedar menukilkan kembali beberapa paradigma yang hadir dalam pokok pikiran demokrasi ekonomi, salah satunya yaitu pendapat yang mendudukan pemerintah seharusnya tidak melakukan pengaturan oleh karena perilaku rakyat sebagai makhluk ekonomi akan dengan sendirinya membentuk kekuatan-kekuatan di pasar sebagai tempat pertemuan dari permintaan dan penawaran. Sebagai mahkluk ekonomi mereka akan mencari yang terbaik bagi dirinya. Hanya mereka sendirilah dan dalam hal ini bukan pemerintah yang paling mengetahui apa yang terbaik baginya. Maka kekuatan-kekuatan ini akan berinteraksi melalui hukum-hukumnya (wetmatigheden) sendiri dan dengan mekanismenya sendiri sehingga semuanya akan menjadi seimbang, serasi, dan adil. Kehendak rakyat tersebut akan menemukan jalannya melalui proses yang alami tanpa campur tangan pemerintah, istilah yang disebut oleh Kwik Kian Gie sebagai least government is best government yang kemudian mendapatkan pertentangan relatif darinya.[1]
Atas dasar tersebutlah, maka pemerintah yang telah merasuk dalam banyak aturan harus meniadakan pengaturan dan peraturannya dengan cara deregulasi dan debirokratisasi. Pemerintah yang telah memiliki banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus mengubah perilakunya sesuai dan/atau melepaskan potensinya kepada mekanisme pasar.
Bahwa, apa yang menjadi landasan dari orientasi pemikiran least government is best government adalah merupakan pandangan yang lahir dan didasarkan pada kapitalisme, liberalisme, dan dalam konsepsi berkerjanya ekonomi pasar.
Kaitannya dalam pandangan demokrasi ekonomi yang dicitakan masyarakat Indonesia, memang tidak ditemukan satu ketentuan yang secara tegas menyatakan penolakannya kepada kapitalisme, dan liberalisme serta kekuatan pasar. Sedang karenanya yang tidak memiliki tempat dalam fundamental norm Indonesia adalah liberalisme dengan persaingan bebas yang tidak sehat atau free fight liberalism, yang mana oleh UUD 1945 disebutkan sebagai ciri negara yang harus dihindarkan dan untuk menghidarkan diri dari free fight liberalism dan kapitalisme yang tidak berwatak sosial, jelas memerlukan adanya suatu peraturan dan pengaturan yang cukup. Sehingga pengakuan terhadap kapitalisme, liberalisme, dan berkerjanya kekuatan-kekuatan pasar tidak berarti bahwa pemerintah kemudian sebaikya tidak terlibat dalam campur tangan pasar.
Demokrasi ekonomi dan pasar sempurna Adam Smith
Pasar sebagai pusat pertemuan dari permintaan dan penawaran telah menimbulkan kekuatan-kekuatan yang di dalamnya mengandung demokrasi ekonomi. Dalam mekanisme pasar bebas contohnya, konsumen menyatakan kehendaknya dengan kesediaanya membayar harga tertentu untuk barang dan jasa yang dibutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhannya, konsumen sebagai mahkluk ekonomi akan selalu mencari barang dengan harga yang paling terjangkau dan dengan demikian produsen akan selalu memperhatikan isyarat yang diberikan oleh konsumen. Pemasok akan selalu melayani dan memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan yang dikehendakinya, oleh karena konsumen memberikan suaranya melalui perilaku pasar untuk memperoleh kepuasan optimal dari barang dan jasa yang dibutuhkannya.
Kuantitas pemasok barang dan jasa dalam pasar demikian seimbang jumlahnya, memiliki kekuatan bertindak yang kurang lebih sama untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan tidak adanya halangan bagi siapa pun untuk bertindak sebagai produsen dan pemasok, sehingga apabila terdapat pemasok yang mencoba menaikan harga jualnya atau mengurangi kualitasnya, serta merta akan mendapat persaingan alami dari pemasok lainnya.
Idealnya dalam mekanisme ini, konsumen diasumsikan telah mempunyai pengetahuan sempurna mengenai jenis penawaran dan berapa harga perolehannya. Keterbukaan bagi konsumen adalah mutlak. Disisi lain, pemasok juga mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai prilaku sesamanya dan mengenai apa yang dikehendaki oleh konsumen. Dengan demikian pasar berserta kekuatan-kekuatan yang berinteraksi didalamnya, termasuk hukum-hukumnya, mekanismenya, senantiasa menjamin tersedianya barang dan jasa dengan harga yang wajar.
Sebaliknya, dengan pemberian harga yang wajar maka para produsen pemasok juga akan mendapatkan jaminan dalam memperoleh keuntungan. Dalam kehidupan ekonomi dengan pasar yang demikianlah, kemudian terdapat tangan-tangan yang seolah mengatur segalanya dengan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Terdapat Invicible hand (begitu hal ini diistilahkan) yang mengatur alokasi faktor-faktor produksi secara optimal, sehingga sekaligus juga meratakan dan membuat pembagian dan pendapatan secara adil.
Namun, nampaknya gambaran pasar yang demikian agaknya hanya dipandang oleh sebagian besar kalangan sebagai dunia khayalnya Adam Smith sebagaimana dituliskan dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776.
Mengapa didalam prakteknya tidak ada keadaan seperti yang digambarkan oleh Adam Smith, hipotesa empiris menyebutkan walaupun semua orang diberikan kesempatan yang sama, dan terdapat pemerataan dalam kesempatan berusaha, namun dalam waktu singkat akan selalu terdapat produsen yang lebih unggul dan lambat laun akan memiliki kekuatan lebih besar dan kuat dari para pesaingnya.
Secara sederhana walaupun terdapat pesaing yang masuk dan menawarkan dengan harga yang lebih rendah, masyarakat konsumen cenderung lebih mempercayai bahwa produk yang biasa dibelinya memang lebih baik dari pada produk lain, sehingga masyarakat konsumen yang awalnya homogen menjadi terpecah-pecah dalam segmentasi fanatik produk tertentu. Pasar dalam hal ini pada akhirnya mengalami perubahan dalam bentuk persaingan yang tidak lagi sempurna, bentuk imperfect yang banyak ragamnya.
Bahwa walaupun kepada semua masyarakat diberikan kesempatan sama atau terdapat pemerataan dalam kesempatan berusaha, namun aspek pembeda baik yang berupa kemampuan daya kreasi, dinamika, efektifitas, efisiensi, kerja keras, kepandaian dan perasaan etika serta keseluruhan tata nilai mengenai apa yang etis dan apa yang tidak etis, fair ataupun tidak merupakan fakta yang tidak dapat dikesampingkan. Dalam prakteknya setelah memperoleh kedudukan monopolistik, biasanya produsen dimaksud akan mulai menentukan harga, kualitas dan lainnya sendiri demi kemakmurannya.
Artinya demokrasi ekonomi yang terjelma dalam konsep pasar menurut Adam Smith tidak lebih dari sekedar harapanya. Liberalisme yang akan menghasilkan keseimbangan dan keserasian karena berkerjanya perfect competition dan karena adanya perwujudan keinginan rakyat ternyata dijuruskan pada liberalisme dengan sistem free fight liberalism yaitu pasar yang bercirikan oligopoli, duopoli dan monopoli. Keadaan yang demikian oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 digambarkan sebagai “tampuk produksi jatuh ketangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya”.
Setelah mengenali hal tersebut, yang menjadi pertanyaan selanjutnya yaitu apakah dengan demikian analisis Adam Smith tidak memberikan konsepsi lebih dan sebaiknya mutlak dikesampingkan. Menjawab hal tersebut tentu memberikan konsekuensi wacana terhadap adanya pengakuan hak milik perorangan, pengakuan adanya potensi, inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi pokok pemikirannya yang lain.
Konstitusi Indonesia juga telah menjelaskan hal yang sama yaitu potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya. Artinya negara Indonesia mengakui kelebihan dari mekanisme pasar dengan segala mimpi keindahan, keserasian dan demokrasi yang terkandung didalamnya. Namun disisi lain juga menyadari bahwa didalam pasar selalu akan terdapat yang buas, yang ingin selalu memenangkan kompetisi dengan menggunakan segala kekuatan dan segala cara-cara yang tidak etis. Untuk itu dijelaskan selanjutnya bahwa hak milik perseorangan diakui selama pemanfaatannya tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat, juga membenarkan pengembangan sepenuhnya dari potensi inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara, dengan catatan tindakannya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
Agar pemanfaatan hak milik perorangan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan agar pengembangan sepenuhnya dari potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara tidak melampaui batas-batas yang merugikan masyarakat, jelas diperlukan peraturan dan pengaturan. Invesible hands saja jelas sangat tidak cukup, sehingga apabila terdapat regulasi dan birokrasi yang optimal, hal tersebut tidaklah kemudian diartikan menentang mekanisme pasar yang digambarkan oleh Adam Smith. Bukan menetang liberalisme, namun justru ingin mendekatkan pasar pada fungsinya yang murni, justru ingin menghindarkan liberalisme berkembang menjadi free fight liberalism.
Menggusur kemiskinan bukan menggusur orang miskin
Selanjutnya menurut ekonom Prof. Sri-Edi Swasono: 2005, ekonomi terbuka harusnya dilakukan secara bertahap sesuai prioritas nasional, tanpa harus mengorbankan rakyat demi pasar-bebas dan demi efisiensi ekonomi pasar terbuka, dimana yang kuat pastilah yang menang, untuk itu seharusnya Indonesia proaktif dalam mendesain wujud globalisasi.[2]
Masih menurut pendapatnya, bahwa biaya dan pengorbanan yang terlalu tinggi bagi rakyat yaitu harus membayar untuk ikut berkewajiban mewujudkan ekonomi dunia yang efisien (pasar bebas dan globalisasi). Pertanyaannya kemudian adalah mengapa negara berkembang harus membayar sangat mahal untuk membiayai efisiensi negara maju yang mana disisi lain negara maju dalam kebijakannya justru memberikan bantuan berupa subsidi kepada pelaku usahanya untuk dapat menguasai pasar negara berkembang. Seperti halnya dengan Industri pembenihan Indonesia yang ‘hidup enggan mati tak mau’ oleh karena para peneliti dan breeder Indonesia tidak bisa berkembang, tidak bisa bersaing dengan peneliti luar negeri yang habis-habisan disubsidi oleh pemerintahnya, mulai dari riset sampai produksi, hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Dirut salah satu perusahaan benih nasional pada Laporan Utama Majalah Gatra yang berjudul “Dominasi Benih Asing Mengancam Kedaulatan Pangan”.
Hal tersebut menyadarkan betapa pentingnya mengelola agar globalisasi dapat diterapkan ramah dan tidak memberikan ekses destruktif terhadap rakyat yaitu dengan menggalang kerjasama, membangun kekuatan bersama antara negara regional, menegakan keadilan dan kesetaraan, saling menghormati, serta memelihara koeksistensi damai.
Sri-Edi Swasono kembali menegaskan bahwa menerima pasar bebas secara apa adanya berarti membenarkan “daulat pasar” dan menghapuskan “daulat rakyat”, sekaligus membiarkan cita-cita “pembangunan Indonesia” berubah menjadi sekedar “pembangunan di Indonesia”. Sehingga kemudian perannya menjadi menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Pasar bebas saat ini menekan harapan bagi ekonomi rakyat untuk tumbuh besar berdasarkan cita-cita demokrasi ekonomi.
Dalam penilaiannya yang lain dikatakan bahwa didalam pasar bebas, rakyat (konsumen) sekedar merupakan penonton dan sekaligus menjadi objek pasar, namun bukanlah penentu keputusan-keputusan pasar. Idiologi pasar bebas menempatkan proteksi sekedar sebagai filantropi, bukan sebagai hak sosial dan hak demokrasi ekonomi masyarakat. Bahwa doktrin kesejahteraan Indonesia adalah dinamis, dimana peranan negara tidak sekedar filantropis tetapi adalah melaksanakan pemberdayaan untuk menumbuhkan keprakarsaan pada masyarakat, meraih kemandirian sejati dan melepaskan diri dari ketergantungan. Dari keprakarsaan inilah maka proses pelumpuhan dan pemiskinan yang dapat menumbuhkan pelumpuhan diri dapat dihindari.
Perlakuan yang sama dihadapan hukum
Dalam efisiensi ekonomi pasar terbuka semua orang diberikan kesempatan yang sama dalam berusaha, pemerataan dalam kesempatan berusaha. Dari sudut pandang legalis-liberal pengusaha/pemodal besar dengan pengusaha kecil/menengah keduanya tunduk pada sistem hukum dan menerima perlakukan sama dihadapan hukum, namun demikian apa yang diperhatikan dalam pelaksanaan sistem hukum adalah kesenjangan ekonomi yang besar dan bagaimana kesenjangan ini dirubah untuk keuntungan kelompok yang kuat.
Sekedar membangun imajinasi, Anthon F. Susanto didalam bukunya menggambarkan bahwa Anatole France mendeskripsikan bahwa orang kaya dan miskin sama-sama dilarang tidur dibawah jembatan Seine di Prancis. Keduanya diperlakukan (secz formal) dengan dasar yang sama. Namun demikian, dengan sedikit uraian akan menjadi sangat jelas bahwa keadilan formal dapat menyembunyikan dan mengabadikan ketidakadilan yang substantif.[3]
Mengakhiri catatan ini dengan menyadari bahwa hubungan antara pengetahuan dan kepentingan memang tidak dapat dipisahkan karena menurut Juergen Habermas setiap jenis pengetahuan lahir dari dorongan jenis kepentingan tertentu. Sehingga dalam kesempatannya dalam halaman terbatas ini ia berusaha untuk menampilkan pembacaan yang mengarahkan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dari realitas kehidupan. Toh pada akhirnya semua unsur yang disajikan tersebut telah diketahui sebagai sebuah tafsiran yang pasti tidak netral, taraf penyajian yang mengandung suatu opini, dapat berbeda-beda.
Akhirnya semoga pendapat yang dipenuhi kekurangan dan bermacam kelemahan ini dapat melahirkan tafsiran lainnya yang lebih sempurna sebagai bagian dari proses dialektika.
[1] Kwik Kian Gie, Analisis ekonomi politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1995.
[2] Sri-Edi Swasono, Menegakan Ideologi Pancasila: Daulat Rakyat versus Daulat Pasar, PUSTEP UGM, 2005.
[3] Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks Dan Model Pembacaan, Genta Pub, 2010.