You are currently viewing Penegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional

Penegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional

Dilansir dari theconversation.com Setelah pemerintah pada akhir Maret lalu mengumumkan status darurat kesehatan wabah pandemi virus COVID-19, aparat penegak hukum bergegas melakukan beberapa penyesuaian proses pemidanaan untuk mendukung langkah pencegahan penyebaran wabah covid 19.

Kepolisian mengeluarkan beberapa instruksi kepada personelnya, termasuk untuk memantau hoaks wabah dan kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah serta memantau penghinaan terhadap presiden dan para pejabat pemerintah.

Kejaksaan juga telah melakukan penyesuaian dengan melakukan sidang virtual dengan tujuan mengurangi penumpukan perkara sembari menghindari kontak fisik antara aparat dengan para terdakwa.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memutuskan untuk membebaskan lebih dari 36,000 warga binaan melalui program asimilasi dan integrasi di kala banyak pihak khawatir lembaga pemasyarakatan (lapas) akan menjadi pusat penyebaran virus karena masalah kelebihan kapasitas penjara yang tidak menampung kelebihan tahanan (overcrowding) .

Namun, tindakan ketiga lembaga penegak hukum ini banyak mengundang kritik dan menjadi kontroversi.

Tindakan kepolisian disebut tidak berdasarkan aturan hukum pidana yang jelas.

Demikian pula kejaksaan yang tidak memiliki dasar hukum yang sesuai dengan; Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal sidang daring.

Pembebasan narapidana juga dinilai tidak cermat dan sembarangan.; beberapa narapidana yang keluar dari lapas ternyata kembali melakukan tindak pidana.

Tampak juga bahwa kebijakan penegak hukum tidak serasi satu sama lain. Di saat Kemenkumham mengeluarkan ribuan napi dari penjara, kepolisian malah giat menangkap warga karena melakukan kritik terhadap penguasa.

Masyarakat sipil menilai tindakan kepolisian ini sebagai upaya pembungkaman kritik .

Pemidanaan yang rasional

Pandemi memaksa semua negara menata ulang sistem hukum mereka termasuk bagaimana sistem peradilan pidana beroperasi. Perubahan ini tidak hanya terkait dengan hukum pidana, namun juga termasuk penyesuaian hukum acara pidana dengan tetap memperhatikan prinsip negara hukum.

Para pakar hukum pidana internasional menyerukan bahwa sedapat mungkin negara menghindari menggunakan instrumen pidana dalam mengatasi penyebaran pandemi.

Pemegang kebijakan harus memegang prinsip hukum pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir): mengutamakan pencegahan dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang baik.

Kalaulah terpaksa menggunakan hukum pidana, perlindungan HAM sebagaimana dikemukakan dalam “prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik” &nalar negara hukum harus tetap diperhatikan.

Cesare Beccaria, tokoh reformasi pemidanaan, menyebut konstruksi pemidanaan yang didesain secara rasional dapat menjamin keamanan masyarakat secara adil dan proporsional.

Di Belanda, contohnya, pelanggaran terhadap aturan tentang kerumunan di tempat umum diancam dengan pidana denda sebesar 390 euro (sekitar Rp 6,4 juta) per orang.

Dewan Kejaksaan Agung Belanda menegaskan akan menuntut setiap orang yang menyalahgunakan virus untuk membahayakan orang lain. Jaksa di Belanda bahkan menuntut seorang remaja berusia 19 tahun yang meludahi sopir bis yang mengancam menularkan virus covid-19.

Italia, yang saat ini memiliki korban penderita terbesar di Eropa, telah menuntut lebih dari 40.000 orang yang melanggar kebijakan lockdown. Di Sisilia, jaksa menuntut penderita yang melanggar aturan isolasi dengan berbelanja ke supermarket, dengan tindak pidana penyebaran wabah, dengan ancaman pidana hingga 12 tahun penjara.

Perubahan prosedur dalam sistem peradilan pidana juga dilakukan untuk mencegah penyebaran virus dengan tetap menghormati HAM. Mahkamah Agung Belanda menghentikan persidangan hingga masa pembatasan sosial selesai. Persidangan virtual hanya dilakukan khusus kasus berat dan persidangan terkait uji upaya paksa seperti penahanan. Persidangan melalui teleconference di sana hanya dapat dilakukan oleh hakim setelah mendengarkan persetujuan terdakwa dan jaksa.

Prosedur pengetatan terhadap narapidana di penjara juga dilakukan. Kementerian kehakiman setempat memutuskan pelarangan kunjungan terhadap narapidana di penjara untuk mencegah adanya penularan.

Prosedur penahanan yang rumit, diskresi jaksa, serta pemidanaan yang berfokus pada denda atau kerja sosial menjadi salah satu sebab sedikitnya jumlah penghuni penjara di Belanda. Hal ini tentu berbeda dengan masalah overcrowding penjara di Indonesia.

Baca Artikel Selengkapnya : Sumber Gambar dan Berita

 

 

Leave a Reply