Berita Hukum Today, dilansir dari Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menunda pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020 yang seharusnya digelar pada September 2020.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dibutuhkan lantaran tidak memungkinkan menggelar tahapan Pilkada, termasuk pemungutan suara di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 seperti saat ini. Sementara itu, untuk menunda Pilkada dibutuhkan revisi atas UU Pilkada, terutama Pasal 201 yang menyebutkan secara detail Pilkada 2020 digelar pada September 2020.
Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari berujar, pandemi virus corona yang masih terjadi saat ini memenuhi syarat disebut kegentingan yang memaksa menjadi syarat agar Presiden dapat menerbitkan Perppu sesuai Pasal 22 UUD. Dikatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum dan kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum agar dapat diselesaikan sesegera mungkin.
Feri memaparkan, saat ini terdapat kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan mengenai pelaksanaan Pilkada secara UU. Hal ini lantaran Pasal 201 UU Pilkada telah menyatakan Pilkada digelar September 2020. Sementara, KPU tidak dapat membentuk UU untuk menunda Pilkada akibat pandemi corona.
“Ini harus diselesaikan dengan UU, dan KPU tidak bisa mengeluarkan UU,” kata Feri dalam diskusi ‘Covid-19 Mewabah: Presiden Perlu Segera Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada’ melalui layanan telekonferensi, Minggu (29/3/2020).
Syarat kedua, ujar Feri, UU yang ada saat ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Hal ini lantaran UU tidak memberikan alternatif waktu pelaksanaan Pilkada 2020. Sementara tidak ada yang dapat menjamin pandemi virus corona berakhir pada saat pelaksanaan Pilkada.
“Tidak ada yang menjamin Oktober akan berakhir atau 2021 akan berakhir tidak ada yang menjamin itu. Apalagi di Tiongkok ada second wave corona,” katanya.
Syarat berikutnya, yakni kekosongan hukum yang terjadi tidak bisa diatasi dengan prosedur pembentukan UU biasa pun terpenuhi. Hal ini mengingat waktu yang tersisa menuju September 2020. Apalagi, kata Feri, dengan pandemi corona ini, membuat DPR tidak dapat menggelar rapat membahas revisi UU Pilkada.
“Jadi tiga syarat itu untuk pemerintah dalam hal ini untuk menyatakan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menyelematkan Pilkada terpenuhi. Saya tidak melihat DPR bisa menggantikan UU ini. Pertemuan, tentu akan menghadapi potensi anggota DPR terjangkit. Revisi memakan waktu sementara pelaksanaan kian dekat,” katanya.
Menurutnya, tidak ada kerugian bagi seluruh pihak, baik itu pemerintah, KPU, peserta Pilkada, maupun masyarakat sebagai pemilih jika Pilkada 2020 ditunda. Sebaliknya, dengan langkah cepat menerbitkan Perppu, Presiden dan pemerintah dapat menyelematkan Pilkada. Setidaknya, dengan Perppu energi petugas penyelenggara pemilu, maupun anggaran tidak terkuras percuma.
“Jangan sampai seluruh tahapan dengan kondisi ini dilanjutkan tapi kemudian terpaksa berhenti karena meluasnya wabah. Jangan sampai merugikan penyelenggara untuk hal-hal yang tidak pasti. Ada anggaran dan beban psikologis penyelenggara. Jadi pemerintah harus cepat memproses. Tidak ada ruginya. Tinggal keluarkan Perppu,” ujarnya.
Untuk mempercepat proses penerbitan Perppu, Feri meminta KPU proaktif. Tak hanya berkomunikasi dengan pemerintah, KPU diminta agar menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) hingga menyusun draf Perppu.
“KPU harus proaktif, bisa bantu dengan kirim DIM untuk terbitkan perppu. Sehingga pemerintah bisa cepat,” ujarnya lagi.
Feri mengusulkan, dalam draf Perppu, tidak perlu disebutkan waktu pelaksanaan Pilkada 2020. Hal ini lantaran tidak ada pihak manapun yang dapat memastikan berakhirnya pandemi corona. Feri mengusulkan dalam draf Perppu itu hanya disebutkan jangka waktu bagi KPU untuk menyiapkan tahapan Pilkada setelah pandemi corona dinyatakan berakhir.
“Kenapa? Kalau waktu (yang disebutkan) itu sampai, sementara wabah belum selesai tentu perlu waktu lagi. Kalau pemerintah sudah umumkan Covid berakhir. Dua bulan pengumuman itu, KPU umumkan tahapan Pilkada atau waktu yang diperkirakan KPU cukup untuk menentukan tahapan. Jadi pemerintah memberikan delegasi kepada KPU setelah diumumkan. Sehingga tidak ada yang susah” ujarnya.
Desakan agar Presiden menerbitkan Perppu penundaan Pilkada juga disampaikan Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khourunnisa Agustyati. Menurutnya, penundaan empat tahapan Pilkada 2020 akibat mewabahnya virus corona akan berdampak pada Pilkada secara keseluruhan. Untuk itu, Pilkada sebaiknya ditunda karena tidak akan efektif. Namun, katanya, KPU tidak dapat menetapkan penundaan Pilkada secara keseluruhan. Aturan perundang-undangan hanya menyebutkan penundaan Pilkada secara parsial dengan pendekatan daerah.
“KPU tidak bisa menetapkan pilkada ini ditunda atau tidak. Harus dari Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Untuk itu kami dorong Perppu penundaan Pilkada,” katanya.
Khoirunnisa mengatakan, terlalu berisiko jika pelaksanaan tahapan Pilkada dan pemungutan suara tetap dilakukan seperti jadwal di tengah wabah corona. Selain berisiko penyebaran virus corona, dipaksakannya pelaksanaan Pilkada akan berdampak pada legitimasi kepala daerah terpilih karena rendahnya partisipasi masyarakat. Hal ini lantaran masyarakat enggan pergi ke TPS dan menggunakan hak suaranya lantaran khawatir wabah virus corona.
“Dibuka transparan kepada masyarakat. Kalau tersampaikan dengan baik, dan masyarakat memahami apalagi ini terkait hak politik. Bukan berarti menciderai hak politik karena kalau mau terus akan berdampak pada pemilihnya. Berdampak pada legitimasi kepala daerah yang terpilih,” ujarnya.