Berita dari JawaPos.com – Ahli Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memiskinkan Koruptor Jiwasraya. Karena hal tersebut tak hanya menyangkut kerugian negara, tetapi juga memberikan rasa keadilan hukum bagi nasib ribuan nasabah yang meminta uangnya untuk dikembalikan.
Menurutnya pendapatnya, langkah tersebut untuk memberikan efek jera terhadap kejahatan para terdakwa dan harus diganjar dengan hukuman tegas dengan memiskinkan yang bersangkutan.
“Langkah untuk memiskinkan dalam artian merampas kembali uang hasil korupsi, menyita. Nampaknya akan menjerakan ketika uang hasil kejahatan itu ditarik semua kembali ke negara,” ujar Yenti kepada wartawan, Senin (15/6).
Sebelumnya diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny melakukan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (AJS). Sehingga menimbulkan kerugian negara sebanyak Rp16,807 triliun.
Menurut Yenti, penerapan TPPU juga pernah dikenakan tehadap mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus dugaan korupsi alat simulator SIM yang ditangani KPK, begitu juga dengan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishak yang menjadi terdakwa pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.
Dalam Kasus Jiwasraya, Yenti menjelaskan, dakwaan JPU dengan UU Korupsi dan TPPU dinilai sudah tepat sebab dengan pendekatan TPPU penyidikan akan lebih leluasa jika dibandingkan dengan hanya penerapan UU Korupsi saja karena dianggap kurang maksimal dan optimal dan masih terdapat celah.
Karena, kalau UU korupsi ketika penyitaanya tidak optimal, dia hanya memberdayakan uang pengganti. Sementara uang pengganti itu ada celah, satu bulan setelah inkrah itu harus dikembalikan dengan denda dan diperbolehkan untuk menyita harta kekayaannya itu untuk pengembalian.
“Dalam hal harta kekayaan tidak mencukupi, boleh diganti dengan makimum penjara berapa dua tahun atau tiga tahun, nah itu celahnya,” ujarnya.
Lanjutnya lagi, Yenti menambahkan, pada umumnya para tersangka menyembunyikan uang itu agar tidak bisa disita negara, mereka lebih memilih untuk pasang badan jika dibandingkan mengembalikan uang setara dengan hasil korupsinya.
“Bahwa tidak cukup hanya memenjarakan tetapi juga merampas kembali semua uang hasil kejahatan sehingga muncul lah pemiskinan itu,” ungkapnya.
Dampak dari masih banyaknya harta yang dimiliki para tersangka koruptor diduga bisa dengan leluasa menyuap para penegak hukum, masih bisa hidup mewah setelah bebas penjara, yang akhirnya tidak menjerakan tersangka.
“Tampaknya lebih menjerakan ketika uang hasil kejahatan itu ditarik semua ke negara, selain itu masyarakat dipuaskan dengan uang itu kembali lagi ke negara disamping yang bersangkutan juga dimiskinkan gitu,” menurutnya lagi.
Dalam pengungkapan skandal Jiwasraya, Yenti juga menyebut, penyidik sejak awal memang harus bekerja keras untuk membuktikan surat dakwaan dua kejahatan sekaligus, korupsi dan TPPU.
“Karena dengan TPPU Penyidik bisa melacak, mentracing kemana aliran uang itu disembunyikan atau kemana saja uang hasil kejahatan itu dipergunakan,” katanya.
“Berhadapan dengan TPPU, karena-kemana itu untuk apa, Ketika hasil korupsi untuk beli barang-barang atau untuk beli properti itu TPPU, ditransferkan itu TPPU, untuk apa saja sepanjang itu hasil korupsi itu TPPU ya sebaiknya,” ulasnya.
“Melalui TPPU, pemblokiran rekening para tersangka itu akan lebih mudah, lebih cepat dibandingkan dengan pengenaan UU Korupsi, sebab TPPU tidak memerlukan izin dari OJK atau Bank Indonesia,” ujarnya.
Yenti juga berharap, surat dakwaan JPU sesuai dengan fakta dan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh dapat dipertahankan dalam sidang pembuktian.
“Semoga kita berharap apa yang tertuang dalam surat dakwaan dalam sidang pertama kemarin bisa dipertahankan dibuktikan oleh Jaksa nanti disisi pembuktian,” bebernya.
Yenti mengingatkan, kepada para penegak hukum, baik kepolisian, KPK maupun kejaksaan Agung di mana pemerintah Indonesia pada tahun 2003 telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi. Ia mendorong pengenaan TPPU terhadap kejahatan korupsi agar dapat memberikan efek jera.
“Mengingatkan para penegak hukum untuk memberikan efek jera dalam United Nations Convention Against Corruption (UNSAC) 2003 kita sudah meratifikasi kita sudah menandatangani dalam pasal 14 dikatakan bahwa korupsi dan TPPU itu ada,” ujarnya lagi.
- Editor : Dimas Ryandi
- Reporter : Gunawan Wibisono