Dasar Hukum Harta Gono-gini
Artikel kali ini akan membahas terkait Dasar Hukum Harta Gono-gini. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini juga sama dengan definisi baku dalam kamus besar bahasa Indonesia, yaitu “Harta perolehan bersama selama bersuami istri.”
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.
Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri dalam perkawinan mereka. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui undang-undang dan peraturan berikut.
- UU Perkawinan pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah “Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
- KUHPer pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”.
- KHI pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta gono-gini dalam perkawinan. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun istri.
- Pada KHI pasal 86 ayat 1 dan ayat 2, kembali dinyatakan bahwa “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan” (ayat 1). Pada ayat 2-nya lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga sebaliknya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Ketentuan dalam KHI pasal 86 (ayat 1 dan 2) kedengarannya bertolak belakang dengan ketentuan (pasal) sebelumnya. Jika dianalisis secara seksama, ketentuan dalam pasal 86 sebenarnya lebih bersifat informatif bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal istilah harta gono-gini, yang merupakan persatuan antara harta suami dan istri.
Istilah harta gono gini lebih dikenal dalam ketentuan hukum positif nasional. Berdasarkan ketentuan KHI pasal 85 bahwa sejak terjadinya perkawinan tidak tertutup kemungkinan adanya percampuran antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri. Dengan kata “kemungkinan”, dimaksudkan bahwa harta gono-gini itu masih diperbolehkan asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta gono-gini mencakup segala bentuk activa dan passiva selama masa perkawinan. Pasangan calon suami istri yang akan menikah diperbolehkan menentukan dalam perjanjian perkawinan bahwa harta perolehan dan harta bawaan merupakan harta gono-gini.
Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 1, “Perjanjian perkawinan harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan”.
Pasangan calon suami istri tersebut juga diperbolehkan menentukan dalam perjanjian perkawinan bahwa yang tidak termasuk dalam harta gono-gini adalah harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, seperti harta perolehan.
Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 2, “Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya”.
Demikian artikel kali ini, terkait dasar hukum harta gono-gini. Semoga bermanfaat.
Apabila anda membutuhkan jasa pengacara, anda dapat menghubungi kami, Japline.
Japline merupakan layanan jasa pengacara online dengan ruang lingkup pekerjaan mulai dari konsultasi hukum, pengerjaan dokumen hukum/kontrak, somasi, pembuatan gugatan, dan pendampingan perkara secara online dengan cakupan wilayah pelayanan jasa seluruh Indonesia. Bagi Anda yang berada diluar wilayah Jabodetabek, layanan Jasa Pengacara Online tepat untuk anda.
Jika Anda mitra kami, silahkan berkonsultasi, ke 085692293310 atau KLIK . Start your consultation now easy, anywhere, everywhere.