Berita Hukum dilansir dari Tagar.id – Jakarta – Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar menilai, Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE) tak cocok di negara modern yang berlandaskan demokrasi.
Hal tersebut disampaikannya saat menanggapi perseteruan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan eks Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu yang sudah ke ranah hukum.
Apabila UU ITE tidak dicabut, maka akan selalu menjadi momok menakutkan bagi para pengkritik dan alat kriminalisasi yang dilakukan rezim penguasa
“Para pejabat publik itu digaji oleh uang rakyat untuk melayani dan dikritik kinerjanya. Untuk itu, UU ITE sepanjang berkaitan dengan kebebasan berpendapat, sudah tidak relevan dan harus dicabut,” tutur Fickar kepada Tagar, Senin, 4 Mei 2020.
Dia menilai, apabila UU ITE tidak dicabut, maka akan selalu menjadi momok menakutkan bagi para pengkritik dan alat kriminalisasi yang dilakukan rezim para penguasa.
Kita menghimbau pada para hakim untuk lebih bijaksana dalam mengadili perkara-perkara hate speach ini agar kita tidak dituduh sebagai negara demokrasi setengah matang
Kemudian, Fickar menilai UU ITE juga tidak rasional & telah mati sebagai hukum. Hal itu lantaran UU tersebut berlawanan dengan ketentuan-ketentuan konstitusi yang mengatur terkait kebebasan berekspresi.
“Namun karena belum dicabut, ia masih menjadi hukum positif. Maka pengendalian sepenuhnya ada di tangan para hakim. Kita menghimbau pada para hakim untuk lebih bijaksana dalam mengadili perkara-perkara hate speach ini agar kita tidak dituduh sebagai negara demokrasi setengah matang,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, Said Didu mencuit di akun Twitter @msaid_didu, Jumat, 1 Mei 2020, bahwa ia dipanggil polisi. Namun, Didu tidak menyebutkan secara jelas atas perkara apa dirinya dipanggil kepolisian.
“Beredar surat panggilan terhadap saya dari polisi terkait peristiwa yang selama ini beredar, tapi karena sudah masuk ranah hukum maka penjelasan tentan hal terssebut ditangani oleh Tim Advokasi Suluh Kebenaran (TASK) yang dikoordinir oleh Letkol CPM (P) Dr. Drs. Helvis, SSos, SH, MH,” tulis Said Didu.
Diketahui, Menko Luhut melaporkan Muhammad Said Didu ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Luhut melaporkan Said Didu atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik.
Pelaporan terhadap Said Didu itu terdaftar dengan nomor S.Pgl/64/IV/Res.1.14/Ditipidsiber. Dalam laporan itu, Said Didu dipersangkakan dengan Pasal 45 Ayat (3) juncto Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ditambah lagi Pasal 14 Ayat (1), (2) dan atau Pasal 15 Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan Luhut Pandjaitan tak bisa menerima pernyataan Said Didu saat diwawancara Hersubeno Arief di kanal YouTube.
Dalam video berdurasi 22 menit itu, Said Didu membahas persiapan pemindahan Ibu Kota Negara baru yang masih berjalan selama pandemi Covid-19. Said Didu mengatakan Luhut Pandjaitan ngotot kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar tidak mengganggu dana untuk pembangunan Ibu Kota Negara baru. Luhut dinilai mementingkan keuntungan pribadi saja tanpa memikirkan penanganan virus corona.
“Kalau Luhut kan kita sudah tahulah. Ya memang menurut saya di kepala beliau itu hanya uang, uang, dan uang. Saya tidak pernah melihat bagaimana dia mau berpikir membangun bangsa dan negara. Memang karakternya demikian, hanya uang, uang, dan uang. Saya berdoa mudah-mudahan terbersit kembali Sapta Marga yang pernah diucapkan oleh beliau sehingga berpikir untuk rakyat bangsa dan negara. Bukan uang, uang, dan uang,” ujar Said Didu dalam video tersebut.
Jodi Mahardi mengatakan apa yang dikatakan Said Didu itu pencemaran nama baik. Dia juga menyebut Luhut telah menyiapkan empat kuasa hukum yang akan menuntut Said Didu. Empat pengacara tersebut adalah Nelson Darwis, Malik Bawazier, Patra M Zen, dan Riska Elita.