Beritah Hukum dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia — Salah satu pihak yang mengajukan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) terkait penanganan dampak Covid-19 di Mahkamah Konstitusi (MK), politikus Amien Rais dkk, menyebut aturan itu sebagai bentuk kediktatoran dalam konstitusi.
“Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mencerminkan constitusional dictatorship dibandingkan merespons keadaan darurat kesehatan,” ujar salah satu kuasa hukum pemohon, Dewi Anggraini, dalam sidang perdana uji materi Perppu itu dengan agenda pembacaan permohonan, di gedung MK, yang disiarkan secara langsung, Selasa (28/4).
Penyebabnya, kata dia, pertama, pemerintah menganulir sejumlah pasal dalam 12 UU. Hal ini membuat wewenang presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut & sewenang-wenang.
Kedua, Perppu ini bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 tentang penerbitan Perppu akibat kondisi kegentingan yang memaksa, juncto putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Putusan MK itu sendiri mensyaratkan tiga kondisi kegentingan yang memaksa itu. Yakni, ada kebutuhan mendesak secara cepat, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, serta kekosongan hukum tersebut tak dapat diatasi dengan cara prosedur yang biasa.
Kuasa hukum pemohon lainnya, Ahmad Yani, menilai penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu tidak memenuhi syarat di atas. Pasalnya, DPR masih melakukan sidang.
“Seharusnya direvisi melalui APBN-P sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum juga tidak terpenuhi. Alasan mendesak Perppu ini juga tidak terpenuhi sebab DPR masih bersidang,” jelasnya lagi.
Ketiga, wewenang sepihak pemerintah dalam menentukan batas defisit anggaran melebihi 3 persen dari Produk Domestik Brutto (PDB) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 2022. Hal itu tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu Corona.
Padahal, menurut Yani, Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 sudah menggariskan bahwa APBN sifatnya periodik, diatur tiap tahun, dan dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan DPR. Dengan Perppu ini, pemerintah menihilkan pran DPR.
“Sebagaimana diketahui UU APBN 2021, UU APBN 2022, bahkan belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun menjadi tidak bermakna manakala selisih antara pendapatan dan belanja dibuka tanpa batas maksimal dan menyangkal dua UU APBN yang bahkan belum ada produk hukumnya,” ujarnya.
“Dengan logika terbalik, ketentuan ini secara langsung membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan APBN,” tutur dia.
Yani mencurigai hal tersebut sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan pemerintah agar dapat melegitimasi hukum dalam menyusun anggaran negara dalam tiga tahun ke depan. Khususnya pinjaman luar negeri yang dianggap jalan paling rasional dalam pemulihan ekomoni usai pandemi Covid-19.
Keempat, kekebalan hukum bagi para pejabat komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) yang tercantum dalam Pasal 27 Perppu Corona.
Padahal, kata kuasa hukum pemohon lainnya, Zainal Arifin Hoesein, berpendapat bahwa kebijakan tersebut berpotensi terjadi tindak pidana korupsi karena di dalamnya ada persoalan perpajakan, hingga keuangan daerah.
Diketahui, Amien rais dkk merupakan salah satu dari tiga pihak yang menguji materi Perppu Corona. Permohonannya terdaftar lewat Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020. Ketentuan yang diuji adalah Pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2 dan 3; Pasal 27; dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
“Pemohon meminta kepada Yang Mulia Hakim MK yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan, satu, menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar kuasa hukum pemohon, Saeful Bachri, dalam persidangan tersebut.
Presiden Jokowi sebelumnya menerbitkan Perppu Corona dengan maksud mempercepat realokasi anggaran untuk penanganan dampak pandemi Covid-19. Namun, Perppu itu lebih banyak mengatur soal pencegahan krisis dalam bidang moneter dan kebijakan fiskal ketimbang kesehatan warga. (ryn/arh)